(Sumber Gambar: Fitrah) |
KULIAHALISLAM.COM - Pe
Radikalisme dapat
muncul dalam berbagai elemen kehidupan, tak terkecuali pada dunia pendidikan.
Penataan pendidikan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui penguatan
Islam yang moderat dengan konsep rahmatal lil alamin (Anwar & Muhayati,
2021). Upaya pencegahan radikalisme dapat dilakukan dengan revitalisasi
nilai-nilai wasathiyah (Hakam & Anggraeni, 2019). Islam adalah agama
wasathan (Yusuf, 2018). Wasathiyah berarti moderasi beragama (Fahri &
Zainuri, 2019). Moderasi beragama perlu ditanamkan kepada anak sejak dini
(Anwar, Priyanti, Sukowati, Mubarokah, & Yuniya, 2020). Upaya penangkalan
radikalisme pada anak usia dini memerlukan pengaruh dan keteladanan dari orang
dewasa, karena anak usia dini memiliki kecenderungan menirukan apa yang mereka
lihat (Fajarwati, 2014). Upaya tersebut bisa dilakukan oleh para pendidik (guru
dan orang tua) sejak usia dini, yakni ketika masa kanak-kanak.[1]
Penelitian Badan
Intelijen Negara (BIN) mencatat pada 2017 sekitar 39% mahasiswa dari sejumlah
perguruan tinggi (PT) di Indonesia terpapar radikalisme. BIN melaporkan
terdapat 24% mahasiswa di PT dan 23,3% siswa di sekolah lanjutan atas (SLTA)
setuju dengan jihad dalam rangka menegakkan Negara Islam Indonesia. Malah
temuan GP Anshor menyebutkan sejumlah masjid di berbagai lembaga negara
termasuk di PT, BUMN, hingga internal Polri sudah terpapar paham tersebut.
Bahkan ada anggota Polri yang tertarik dengan ideologi radikal itu. Hasil penelitian
Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2016 lebih gawat lagi, terdapat
84,8% siswa dan 76% guru di sekolah setuju dengan penerapan syariat
Islam dan yang cukup mengejutkan dalam survei itu ditemukan 4% orang Indonesia
menyatakan setuju dengan ISIS (Lampost , 22 Mei 2018).
Dalam pandangan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme(BNPT), radikalisme merupakan embrio
terorisme. Ia merupakan sikap yang mendambakan perubahan secara total dan
bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara
drastis melalui kekerasan dan aksi-aksi yang ekstrem. Ciri yang bisa dikenali
dari paham radikal, yaitu 1) intoleran, tidak mau menghargai pendapat dan
keyakinan orang lain; 2) fanatik, selalu merasa benar sendiri; 3) eksklusif,
membedakan diri dari umat Islam pada umumnya; dan 4) revolusioner,
cenderung menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan.
Ciri radikalisme ini
mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Charles Kimball dalam Religion Becomes Evil (2002) bahwa
agama akan menjadi bencana atau radikal jika ditandai lima hal, yakni 1)
mengklaim kebenaran mutlak (absolute
truth claim), padahal kebenaran mutlak hanya milik Tuhan; 2) menuntut
ketundukan buta (blind obedience)
yang mengingkari perintah kitab suci untuk berpikir kritis; 3) menginginkan
kembali pada masa keemasan (establishing
the ideal times) yang justru mengingkari gerak waktu yang tak
pernah surut ke masa lalu dan tiap zaman memiliki problem tersendiri yang
menuntut jawaban berbeda; 4) membenarkan segala cara (the end justifies any means), padahal
tujuan yang baik harus ditempuh dengan cara yang baik; 5) menyatakan perang
suci (declaring holy wars), di mana
perang sejatinya kotor tidak ada yang suci.
Dalam jurnal penelitian
Abdul Munip, “Menangkal Radikalisme Di
Sekolah,” Jurnal Pendidikan Islam I, no. 1 (2012): 159–82.[2] Menyatakan
bahwa, Tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak ditemukan kalangan milenial
mendukung tindakan ekstrim yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung
jawab, antara lain; penelitian yang dilakukan oleh Muchith menjelaskan bahwa
tindakan radikalisme yang terjadi dalam pendidikan buah dari lemahnya posisi
guru sebagai jabatan profesi di Indonesia.[3]
Hal ini menjadi penyebab munculnya tindakan intimidasi baik dari guru kepada
siswa, dari manajemen sekolah kepada guru, dan dari masyarakat kepada guru atau
sekolah. Umro menguatkan pendapat di atas menyatakan bahwa gerakan terorisme
yang menjadi permasalahan seluruh negara di dunia termasuk Indonesia,
dilatarbelakangi oleh tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama atau sering
dikenal dengan radikalisme agama.[4]
Risma Savhira memberikan solusi dalam menangkal paham ekstrim bagi pemuda
dengan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam karakter wasathiyah.
Melalui sikap wasathiyah tersebut, diharapkan generasi muda lebih bijak dalam
menghadapi paham-paham baru yang bermunculan.[5]
Ikhsan menambahkan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah suburnya
pertumbuhan paham radikalisme bagi pemuda di perguruan tinggi ialah dengan
menanamkan sikap moderasi Islam dengan baik bagi mahasiswa, karena konsep Islam
wasathiyah hadir untuk untuk menjawab problematika kehidupan beragama di kampus.[6]
Amiruddin menilai paham radikalisme juga rawan muncul bagi kalangan santri di
pondok-pondok pesantren, sehingga ia menyarankan selain pembelajaran keislaman
yang mengedepankan toleransi, santri juga dibekali rasa cinta tanah air dengan
melakukan upacara hari santri dan hari kemerdekaan Republik Indonesia.[7]
Fenomena
radikalisme dan terorisme sesungguhnya merupakan fenomena gunung es (iceberg) akibat berbagai hal yang
bersifat kompleks yang telah berlangsung demikian lama. Ia muncul baik
akibat kesenjangan pemikiran, ketidakadilan, pemahaman
konsep beragama dan bernegara yang keliru, maupun akibat politik dan pengaruh
ideologi transnasional melalui jejaring sosial yang marak akhir-akhir
ini. Untuk itu, diperlukan ada pendekatan yang komprehensif dan integral
untuk memecahkan masalah tersebut baik dengan cara soft power seperti pendekatan kultural, sosial, melalui
kontranarasi di pelbagai media dan sosial media, institusi pendidikan,
dan lainnya, maupun pendekatan hard power
dari aparat keamanan agar lebih sigap lagi memberantas radikalisme dan terorisme.
*)Penulis adalah Pegiat Isu-isu Ekonomi, Filantropi Islam, Kemanusiaan, dan Perdamaian.
[1]
Moderasi
Beragama Untuk Mencegah Radikalisme Pada Anak Usia Dini Yuliana1 , Fitri
Lusiana1 , Dea Ramadhanyaty2, Anis Rahmawati3 , Rosyida Nurul Anwar1
1Pendidikan Guru PAUD, Universitas PGRI Madiun, Seminar Nasional Paedagoria
Volume 1, September 2021, pp. 10-15
[2]
KONSEP
INTERNALISASI NILAI-NILAI MODERASI BERAGAMA BAGI GENERASI MILENIAL BERBASIS
ALQUR’AN Apri Wardana Ritonga Thursina International Islamic Boarding School
Malang. Vol. 4, No. 1, Februari 2021.
73-74.
[3]
13
Muhammad Saekan Muchith, “Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan,” Addin 10, no. 1
(2016): 163, https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1133.
[4]
14
Jakaria Umro, “Upaya Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Radikalisme
Agama Di Sekolah,” Journal Of Islamic Education (JIE) II, no. 1 (2017): 89–108.
[5]
15
Alaika M. Bagus Kurnia PS Risma Savhira D.L.s, “Konsep Wasathiyyah Dan
Relavansinya Bagi Pemuda Dalam Menangkal Aliran Sesat,” Analisis: Jurnal Studi
Keislaman 19, no. 2 (2019): 321–38, https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v19i2.5372.
[6]
16
M. Alifudin Ikhsan, “Al-Quran Dan Deradikalisasi Paham Keagamaan Di Perguruan
Tinggi: Pengarusutamaan Islam Wasathiyah,” Al-Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan
Hadist 2, no. 2 (2019): 98–112, https://doi.org/10.35132/albayan.v2i2.71.
[7]
17
Yoyok Amirudin, “Peran Pondok Pesantren Dalam Mencegah Paham Radikalisme Agama
( Studi Kualitatif Di Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek Kecamatan Sukun Kota
Malang ),” Tabyin: Jurnal Pendidikan Islam 03, no. 01 (2020): 92–103,
http://e-journal.stai-iu.ac.id/index.php/tabyin%0APeran.