(Sumber Gambar: Fitrah) |
KULIAHALISLAM.COM - Banyak
masalah yang muncul akibat pandemi. Misalnya, kenaikan kemiskinan, ketimpangan,
dan pengangguran. Di luar itu, pertumbuhan ekonomi rontok dan jumlah utang
membengkak (seperti yang dialami negara lain). Secara keseluruhan, pandemi
memang menciptakan guncangan keras terhadap perekonomian.
Seperti kita
ketahui dan rasakan, pandemi telah melahirkan kesengsaraan yang dialami oleh
sebagian besar rakyat. PHK terjadi besar-besaran, akses masyarakat terhadap
lapangan pekerjaan berkurang karena PPKM telah membatasi gerak penduduk dalam
bekerja. Konsekuensinya, sebagian besar penduduk masuk dalam kerentanan sosial
ekonomi tingkat tinggi.
Ternyata,
secara sosiologis, gambaran di atas tidak sepenuhnya benar. Simaklah
fenomena-fenomena sebagai berikut. Di tengah lesunya ekonomi, elite-elite
partai dan politisi pameran baliho dengan biaya mahal. Jelas, kepentingan
baliho untuk memenuhi ambisi politik tokoh-tokoh demi persiapan pemilihan
presiden pada 2024. Terlebih, semua partai politik sudah bersiap-siap dengan hajatan
politik tingkat tinggi ini.
Belum
selesai isu tersebut, drama kesenjangan sosial muncul lagi. Laporan LHKPN
menyebutkan, harta kekayaan pejabat negara meningkat rata-rata 70 persen.
Kemudian, wawancara Krisdayanti, anggota DPR RI, pada sebuah media sosial,
telah membelalakkan mata. Ternyata tingginya gaji legislatif kita tidak
sebanding dengan capaian kerja ”terukur” mereka.
Gambaran
di atas agak bisa dimaklumi –sekalipun tidak bisa dibenarkan– manakala negara
sedang stabil dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Roda ekonomi yang bergerak
mengarahkan masyarakat yang meningkat tingkat kesejahteraannya dan masyarakat
yang sejahtera akan melahirkan pendapatan nasional tinggi. Tetapi, jelas ironis
manakala ”penumpukan” kekayaan terjadi pada saat sektor ekonomi tidak berjalan;
pengangguran, kemiskinan, dan kelompok rentan meningkat. Ditambah disorganisasi
keluarga merebak di tengah orang tua yang meninggal akibat Covid-19. Kesenjangan Sosial di Kala Pandemi
Covid-19.(OPINI Oleh: RACHMAD K. DWI SUSILO *). 29 Oktober 2021, 20:48:57 WIB).
Kesenjangan
sosial tetap saja tinggi. Seakan-akan nilai-nilai solidaritas sosial, gotong
royong, nasionalisme, dan etos hidup sederhana tidak ada artinya. Demikian
juga, kita sering mendengar pernyataan tentang jati diri bangsa sebagai bangsa
yang berkebudayaan dengan solidaritas sosial tinggi. Toh, masih ada minoritas
yang hanya memikirkan diri mereka sendiri. Konsekuensinya, kelompok yang meraup
keuntungan tinggi hidup di tengah masyarakat yang sulit mengais rezeki. Di sini
pandemi telah melahirkan anomali sebagai keganjilan pada masyarakat. Salah satu
bentuknya, kesenjangan sosial yang tidak semakin membaik.
Menurut
sebuah laporan Oxfam terbaru yang diluncurkan pada hari (Kamis, Februari 23,
2017). Laporan ini diluncurkan saat elit politik dan bisnis berkumpul pada
Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Laporan Oxfam 'Reward Work, Not
Wealth' mengungkapkan bagaimana ekonomi global memungkinkan kelompok elit kaya
untuk mengumpulkan kekayaan yang besar sementara ratusan juta orang berjuang
untuk bertahan dalam kemiskinan. Oxfam di Indonesia dan International NGO
Forum on Indonesia Development (INFID) menerbitkan laporan tentang ketimpangan
di Indonesia sebagai upaya memberikan kontribusi pemikiran terhadap penurunan
ketimpangan di Indonesia.
Laporan
ini bertujuan untuk mendorong upaya Pemerintah Indonesia dalam menghapuskan
kesenjangan, sebagai agenda prioritas seperti dicanangkan oleh Pemerintahan
Presiden Joko Widodo. Dalam laporan ini terdapat rekomendasi-rekomendasi bagi
pihak pemerintah dan swasta untuk memastikan bahwa komitmen dan upaya baik
pemerintah yang sudah dilakukan sejauh ini untuk menurunkan ketimpangan dapat
semakin efektif dan memastikan tidak ada kelompok yang tertinggal.
Dalam
laporan ini Oxfam dan INFID juga menampilkan fakta-fakta yang mengejutkan dari
ketimpangan di Indonesia. Sebagaimana diketahui tingkat pertumbuhan ekonomi
Indonesia cukup stabil dan proporsi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan
ekstrim telah berkurang hingga kini ‘hanya’ di kisaran 8 persen. Namun, capaian
pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum diimbangi dengan pembagian pendapatan
yang lebih merata. Dalam 20 tahun terakhir kesenjangan antara kaum super kaya
dan penduduk lainnya di Indonesia tumbuh lebih cepat dibanding di negara-negara
lain di Asia Tenggara.
Dilaporkan
bahwa selain Indonesia memiliki tingkat ketimpangan yang terburuk keenam di
dunia, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia adalah sama dengan gabungan
kekayaan 100 juta orang termiskin. Selanjutnya, besarnya pendapatan tahunan
dari kekayaan orang terkaya di Indonesia-cukup untuk mengentaskan kemiskinan
ekstrem di Indonesia. Laporan ini juga menjabarkan meningkatnya ketimpangan di
wilayah perkotaan dan kesenjangan antara daerah.
Selanjutnya
diterangkan dalam laporan ini bahwa melebarnya kesejangan antara kekayaan
orang-orang super kaya di Indonesia dan kelompok masyarakat lainnya adalah
ancaman serius pada kesejahteraan rakyat Indonesia ke depan. Karena jika
ketimpangan tidak segera diatasi maka upaya keras pemerintah menurunkan
kemiskinan akan mengalami hambatan dan bisa menyebabkan ketidakstabilan di
masyarakat.
Melalui
laporan ini Oxfam dan INFID menyerukan pada pemerintah untuk memperkuat
komitmen dan menjalankan paket kebijakan penurunan ketimpangan, mengakhiri
konsentrasi kekayaan di tangan sekelompok orang dan perusahaan, memastikan
menyempitnya kesenjangan antara daerah dan memberikan kesempatan yang lebih
besar bagi pekerja dan kelompok masyarakat miskin serta bagi perempuan.
Dengan
demikian, karena masyarakat masih berusaha menghadapi guncangan pandemi Covid-19
ini, kezaliman dan kesenjangan sosial ekonomi makin buruk yang dialami oleh
masyarakat bawah, kaum dhuafa, termarjinalkan di Indonesia. Maka semua pejabat
pemerintah baik dari level regional dan nasional untuk senantiasa sadar, peduli
dan membantu memastikan kinerja ekonomi dinikmati oleh semua warga
masyarakat indonesia secara adil dan merata dan bukan hanya dinikmati beberapa
gelintir orang, dinasti oligarki, pejabat zalim yang gembira diatas
kesengsaraan rakyatanya.
*)Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi Syariah, FAI, UMM. Pegiat Isu Ekonomi, Filantropi Islam, Dialog Kemanusiaan dan Perdamaian.