Penulis: Muhammad Rizky Shorfana*
KULIAHALISLAM.COM - Paulo Freire, merupakan filosof asal Brazil yang memiliki kontribusi besar bagi dunia pendidikan. Dalam salah satu karyanya yang berjudul “Pedagogy of The Oppressed” atau dalam bahasa Indonesia yang lebih dikenal sebagai pendidikan kaum yang tertindas, setidaknya terdapat tiga proyek yang digagas oleh Freire untuk membebaskan pendidikan bagi kaum yang tertindas.
Maka dari itu, dalam tulisan ini penulis ingin menjelaskan seperti
apa pemikiran Paulo Freire mengenai pendidikan yang didapatkan oleh
kaum yang tertindas? Dan bagaimana solusi Freire untuk membebaskan
pendidikan bagi kaum yang tertindas?
Pemikiran
Freire mengenai pendidikan kaum yang tertindas, tidak ada dengan
begitu saja. Melainkan dengan sejarah hidup Freire yang panjang. Ia
merupakan seorang yang berkebangsaan Brazil dan berasal dari latar
belakang keluarga yang cukup mapan. Ia merupakan anak dari seorang
polisi militer yang membuat hidupnya memiliki standar menengah ke
atas.
Akan tetapi, krisis ekonomi menimpa negara Brazil pada waktu
Freire mengenyam bangku sekolah dasar atau sekitar tahun 1929 M.
Sehingga banyak sekali masyarakat Brazil yang mengalami kelaparan
yang parah, termasuk salah satunya yaitu keluarga dari Freire.
Dari semua kepahitan yang ia rasakan tersebut, ia bertekad untuk menjadi seorang pejuang agar masyarakat miskin tidak merasakan kelaparan lagi. Salah satu perjuangannya yang telihat jelas yaitu dengan mendobrak kesadaran akan pendidikan yang ia rasa keliru pada masa itu.
Karena pendidikan pada masa itu hanya melatih seseorang untuk mendapat pekerjaan. Padahal bagi Freire, pendidikan seharusnya menerapkan emansipasi dan mengajarkan materi yang berfungsi sebagai perbaikan hidup bagi individu ataupun murid.
Apalagi
menurut Freire, pendidikan yang modelnya hanya untuk mendapatkan
pekerjaan itu akan melanggengkan status
quo di suatu
masyarkat. Karena pendidikan yang diperoleh oleh si miskin dan si
kaya berbeda. Di mana orang kaya akan mendapatkan pendidikan yang
lebih bagus dengan segala fasilitas yang memadai dan menjadikan si
kaya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Sedangkan orang miskin akan selalu menjadi miskin, karena pendidikan yang diperolehnya tidak sebaik dengan pendidikan yang diperoleh oleh orang-orang kaya. Model pendidikan semacam inilah yang di kritik oleh Paulo Freire. Karena baginya, pendidikan yang semacam ini merupakan pendidikan yang menindas.
Oleh
karena itu, Freire berpendapat bahwa pendidikan seharusnya mengajarkan
emansipasi atau pembebasan kepada peserta didiknya. Bahkan bagi
Freire, tidak hanya harus membebaskan. Tetapi juga harus bisa menjadi
perbaikan diri bagi para murid.
Untuk itu, orientasi dari pendidikan
seharusnya tidak hanya untuk dapat mencari pekerjaan belaka.
Melainkan fokus pada nilai-nilai kemanusiaan (humanism),
yakni dengan mengembalikan kodrat manusia sebagai pelaku atau subyek,
bukan sebagaik obyek pendidikan atau penderita.
Sehingga pada akhirnya, seseorang tidak lagi hidup untuk mencari pendidikan dan mengorbankan hidupnya demi pendidikan. Melainkan pendidikan tersebut ada untuk perbaikan diri dari seseorang tersebut.
Untuk dapat mengembalikan kesadaran yang demikian, Freire memiliki tiga proyek penyadaran bagi kaum yang tertindas. Adapun tiga proyek penyadaran tersebut adalah:
Pertama, kesadaran magis, adalah kesadaran seseorang yang masih terperangkap oleh ‘mitos inferiorias alamiyah’. Inferioritas alamiah itu adalah cara pandang yang menganggap bahwa setiap orang memiliki takdirnya sendiri-sendiri.
Dan salah satu ciri
dari kesadaran magis ini adalah fatalisme. Sehingga menyebabkan
seseorang membisu, dan menceburkan dirinya ke lembah kemustahilan
untuk melawan para penguasa atau kekuasaan. Nah menurut Freire,
orang-orang pada kesadaran ini mengetahui bahwa diri mereka tertindas
dan miskin, tetapi yang mereka tidak tahu adalah cara menyuarakan
ketidak-adilan dan ketimpangan tersebut.
Kedua, kesadaran naif, berbeda dengan sebelumnya. Pada kesadaran naif ini, seseorang telah mampu merefleksikan keadaan dirinya, sadar akan keadaannya yang belum mandiri dan tertindas, akan tetapi pengetahuan seseorang pada tahap ini belum memadai dan belum bisa berjuang secara mandiri.
Pada
akhirnya, seorang yang berada pada tahap ini tidak berjuang, malahan
terjebak pada kejayaan di masa lalu, lebih lagi mengkambinghitamkan
kesalahannya pada individu lain. Sehingga menurut Freire, orang-orang
pada kesadaran ini malah menyederhanakan suatu masalah dengan cara
menimpakan penyebabnya pada individu-individu, bukan pada sistem yang
salah tersebut.
Ketiga,
kesadaran kritis, pada tahap ini seseorang tidak hanya mampu
merefleksikan keadaan dirinya yang mengetahui dan sadar bahwa dalam
realitasnya terdapat suatu problem, tetapi juga seseorang mampu
mencari solusi dari permasalahan tersebut, bahkan berani untuk
memperjuangakn gagasan dan pemikirannya tersebut. Sehingga isu-isu
yang muncul pada tahap ini adalah perubahan sistem yang tidak adil,
bukan lagi pembaharuan atau penghancuran individu-individu tertentu.
Dan
proses perubahan dalam tahap ini memiliki dua aspek; pertama,
penegasan diri dan penolakan untuk menjadi pelanggengan status quo
atau sistem yang menindas. Kedua,
berusaha secara sadar dan empiris untuk menggantikan sistem yang
menindas dengan sistem yang jauh lebih adil dan bisa mereka kuasai.
Sehingga, jika semua orang mencapai level kesadaran kritis ini.
Menurut Freire pendidikan tidak lagi menindas kaum yang lemah, juga melanggengkan penindasan bagi kaum yang kuat. Melainkan dapat menolong keduanya, baik dari segi yang tertindas maupun sisi penindas.
Dan pendidikan semacam ini akan dapat memajukan suatu
pengetahuan lebih signifikan lagi, tidak terhalang pada model
pendidikan yang melemahkan pada satu pihak yang tertindas.
*) Sarjana Akidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya.