Apakah Presiden Wakanda Egaliter?

 
Di masa pilpres 2019 silam kelam, saya ingat sekali pernah mendengar pernyataan seorang politisi sangat senior, dari golongan karya. Beliau dulunya sempat menolak karena bisa hancur negeri itu. Namun pada akhirnya beliau mendukung Mukidi sebagai presiden dengan satu alasan. Nah, alasannya adalah karena mukidi adalah seorang pemimpin egaliter.

Benarkah dia adalah seorang pemimpin egaliter? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus tau seperti apa sebenarnya filsafat egaliterianisme itu.         Singkatnya egaliterieanisme adalah pandangan yang suka melihat setiap orang punya kesempatan yang sama dalam politik dan sosial. Politik dinasti dipandang sebagai bertentangan dengan prinsip kesetaraan, karena memberikan keistimewaan kepada keluarga tertentu dan menghalangi kesempatan yang sama bagi semua individu untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

Tentu saja, mukidi dan keluarganya berhasil memenangkan permainan di MK. Sebuah tempat yang dianggap paling egaliter di negeri ini. Dimana seluruh warga Indonesia punya kesempatan yang sama di pengadilan MK. Tetapi, prinsip egaliterianisme di MK itu telah ternodai ketika beberapa subjektifitas hakim  berada dalam pengaruh paman.

Tentu saja, mukidi dan keluarganya akan menggunakan arguman utilitarianisme. Utilitarian akan berpendapat bahwa politik dinasti dapat diterima jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Jika politik dinasti mampu menjaga stabilitas negeri ini,  mencegah konflik politik yang berpotensi merugikan rakyat Indonesia, maka cara politik dinasti Mukidi sah-sah saja jika dianggap paling baik untuk situasi Indonesia saat ini.

Egalitarianisme memang setuju terhadap tujuan kebahagiaan. Tetapi, kebahagiaan mayoritas tidak boleh mengorbankan keadilan dan kesetaraan minoritas. Jika ada individu atau kelompok minoritas yang mulai merasa bahwa pilihan mayoritas utilitarianisme tidak membawa kebahagiaan, bukan tidak mungkin munculnya gerakan-gerakan protes sosial. Ini kemungkinan besar terjadi, ketika diskriminasi dan marjinalisasi kian merajalela dimana-mana. Kemungkinan terburuk adalah radikalisasi dan polaritas sosial dan politik yang semakin kentara. Bisakah langkah dinasti politik ini menjaga kestabilan ketika nilai rupiah semakin merosot drastis?

Atau Mukidi bisa pakai dalil filosofi realisme politik. Orang-orang semacam Niccolò Machiavelli, Thomas Hobbes tentu lebih suka cara yang lebih pragmatis. Dari pada Indonesia dipimpin oleh orang lain yang belum tentu baik dan tidak korupsi, maka tidak ada salahnya mencoba politik dinasti sebagai strategi yang pragmatis dan realistis untuk mempertahankan kekuasaan.

Jangan lagi katakan bahwa Mukidi dan keluarganya akan menggunakan argumen darwinisme. karena dinasti politik adalah hak asasi manusia, maka pasti dilakukan siapa saja. Dinasti politik adalah bagian alami kehidupan. Pernah dengar "survival of the fittest", di mana hanya keluarga yang paling kuat dan adaptif yang dapat bertahan dan mempertahankan kekuasaan. keyakinan seperti ini tentu saja berbahaya.  karena hanya akan membawa kita pada “hukum rimba”. Yang kuat adalah yang menang, memakan atau dimakan. Bayangkan jika politik dinasti berlaku di seluruh provinsi di negeri ini. “apakah ini nilai seperti ini juga bagian dari Asian value?”

Orang-orang yang egaliter tentu saja lebih memilih cara Meritokrasi. Meritokrasi lebih suka bila individu diangkat ke posisi kekuasaan berdasarkan kemampuan dan prestasi mereka, bukan karena keturunan. Politik dinasti yang dipilih Muliadi mengabaikan banyak hal. Salah satunya adalah mengabaikan prinsip meritokrasi dengan memberikan kekuasaan berdasarkan hubungan keluarga melalui perubahan hukum MK, bukan berdasarkan kompetensi dan kualifikasi individu.

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu (egaliter; bukan karena keturunannya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." QS. Al-Hujurat (49:13):

Akhirnya, dari perspektif egalitarianisme, kita tentu saja bisa menyimpulkan bahwa Mukidi memang egaliter, tapi dari bungkusnya saja, bahwa jauh di dalam, ternyata Mukidi adalah pemimpin yang otoriter. Karena terbukti dari cara  politik dinasti yang ia terapkan untuk keluarganya melalui MK. Sayangnya cara ini sangat buruk, mengingat MK adalah tiang yang berhasil di rusak  di negeri yang terlanjur memilih jalur demokrasi itu. Jalur yang memastikan adanya pergantian kepemimpinan dalam kurun waktu 5 tahun. 

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama & Universitas PTIQ Jakarta)

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال