Makna Asian Value Yang Sebenarnya

 

Entah mengapa, saya perhatikan kebanyakan media mulai tidak seimbang ketika menjelaskan tentang definisi Asian value. Dan entah bagaimana, mereka sangat percaya diri sekali bahwa definisi Asian value mereka ini adalah fondasi dasar dari politik dinasti. Penulis khawatir, pemahaman seperti inilah yang menjadi pusat kebenaran di tengah masyarakat. Karena itulah penulis ingin menyeimbangkannya melalui media tulisan ini..

Agar kita mendapatkan definisi yang seimbang, mari kita mulai pendefinisian ini dengan melihat dari dua sudut pandang. Yaitu dari sudut pandang yang lebih konseptual dan akademis (language of analysis) dan sudut pandang yang lebih praktis dan pragmatis (language of practice).

Nah, Dari sudut pandang language of analysis, Asian value dimaknai sebagaimana berikut:

1.      Asian value vs Western value

Asian value dan Western value adalah konsep paling umum dari perbedaan antara dua peradaban Timur dan Barat. Antara dua peradaban ini memiliki pandangan yang berbeda antara semangat hak individu dan semangat kolektif. Semangat individualisme ini dianut oleh Western value setelah masyarakat Barat mengalami pencerahan (Renaissance), karena di mana kala itu masyarakat Barat ingin sekali terlepas dari dogma agama sebagai struktur yang mengikat kebebasan individu. Sementara semangat kolektif ini masih terjaga dan awet di Timur dengan kata kunci sebagai berikut:

a.       Keluarga sebagai Unit Dasar

Dalam jbanyak budaya Asia, keluarga dianggap sebagai unit sosial dasar. Keberhasilan dan kesejahteraan individu sering kali diukur berdasarkan kontribusi mereka terhadap keluarga dan komunitas. Ini berlawanan dengan pandangan Barat yang lebih menekankan pada pencapaian dan kebebasan individu.

b.      Komunalisme di atas Individualisme

Karena itulah menurut Asian values, komunalisme (kolektivisme) diutamakan. Konsep ini menekankan pentingnya kebersamaan, solidaritas, dan kerja sama. Keluarga dan komunitas adalah pusat dari kehidupan sosial, di mana setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mendukung dan menjaga kesejahteraan bersama. Berlawanan dengan prinsip individualisme di Barat yang mengutamakan kebebasan pribadi, hak-hak individu, dan otonomi. Setiap orang dianggap sebagai entitas independen yang memiliki hak-hak yang tidak bisa diganggu gugat oleh masyarakat atau negara.

c.       Negara adalah Keluarga

Di banyak negara Asia, konsep nation as a big family digunakan untuk membangun rasa nasionalisme dan solidaritas nasional. Pemimpin negara sering kali dipandang sebagai figur otoritas yang bertindak sebagai "kepala keluarga" yang bertanggung jawab untuk menjaga kesejahteraan dan harmoni seluruh "keluarga" bangsa.

Artinya, dikala itu, masyarakat Timur masih percaya bahwa hak individu mereka tetap harus di bawah kendali hak kolektif. Sehingga dalam Asian value, hak kolektif ini diwujudkan dalam konsep kekeluargaan. Kekeluargaan sebagai Dasar Sosial, keluarga dianggap sebagai unit dasar masyarakat, dan harmoni dalam keluarga dipandang sebagai refleksi dari harmoni dalam masyarakat luas.

Di masa pra-kolonial, semangat Asian values ini masih dijaga dalam bentuk kerajaan. Di sana dipilih salah satu figur yang dianggap merefleksikan harmoni masyarakat. Figur tersebut menjadi pemimpin. Seorang raja juga menanggung beban keharmonisan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan dalam hal penentuan pucuk kepemimpinan berikutnya, seorang raja berusaha menjaga agar keturunannya juga memiliki semangat kolektivitas ini. Demikianlah semangat kolektivitas ini menjaga Asian values hingga bertahan selama beberapa abad. Namun Asian value ini mengalami pergeseran atau kita sebut saja mengalami transformasi. masyarakat secara adaptif melakukan transformasi ini sebagai respon terhadap pengaruh western value.

2.      Kritik terhadap Otoritarianisme  

Titik awal transformasi bisa kita lihat pada masa kolonial. Ia berubah menjadi nilai yang membawa kritik masyarakat Timur tentang otoritarianisme yang terjadi di negeri-negeri Timur. Pada masa kolonial, beberapa keluarga monarki justru mengkhianati semangat kolektif masyarakat. Monarki di masa itu bekerja sama dengan pihak Barat untuk menghegemoni rakyatnya atas nama kemajuan produksi. Para pemimpin Asia yang melakukan industrialisasi dengan cara otoriter. Seiring waktu yang terjadi justru adalah perbudakan dan pembodohan rakyat. Bentuk semangat kolektif yang bergerak di masyarakat tidak lagi terwujud dalam dinasti keluarga. Bahkan, mayoritas mereka tidak lagi percaya pada wujud kolektivitas keturunan primordial. Mereka lebih banyak tergabung dalam gerakan massa. Beberapa tokoh figur dari gerakan pendidikan, NGO, dan partai yang membawa misi-misi kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan.

3.      Kritik pula terhadap Demokrasi Liberal

Di era pasca-kolonialisme, Asian value tetap hadir dengan semangat kolektifnya. Mereka berhasil keluar dari belenggu primordial yang sempat bekerja sama dengan Barat. Dengan memori pengkhianatan semangat kolektivitas rakyat, beberapa negeri tetap setuju dengan industrialisasi. Semangat efektivitas dan efisiensi ini tidak juga ingin bulat terpengaruh dengan value Western; nilai dengan sistem politiknya yang berbasis pada demokrasi liberal. Karena bagi Asian value, demokrasi liberal Barat adalah kesalahan; demokrasi liberal Barat menganggap bahwa human rights itu universal. Sementara, human rights dalam kacamata Asian value itu sifatnya relatif alias tidak universal. Maka prinsip hak individualisme tetap di bawah hak kolektif. Artinya, hak individu tetap di bawah kendali hak kolektif. Sehingga menurut Asian value dalam konteks Indonesia, tetap menginginkan adanya kesatuan dari masyarakat yang majemuk. Untuk mencapai kesatuan tersebut, diberlakukan semangat konsensus dan gotong royong. Konsep kekeluargaan yang dimaksud Asian value sebenarnya adalah konsep nasionalisme juga. Sejak awal terwujudlah ide demokrasi terpimpin, musyawarah mufakat dalam Pancasila. Sebuah konsensus yang tetap menjaga semangat kolektivitas dalam kerangka negara demokrasi.

4.      Wujud Asian value di Era Modern

Sayangnya, di masa modern ini, penggunaan Asian values dengan semangat kolektif telah mengalami transformasi seiring dengan perkembangan politik, ekonomi, dan sosial di berbagai negara Asia. Berikut adalah beberapa poin utama mengenai situasi saat ini:

a.       Perubahan Politik dan Demokratisasi

Banyak negara Asia telah mengalami gelombang demokratisasi pasca-krisis moneter 1997-1998. Negara seperti Indonesia mengalami transformasi besar-besaran (kita sebut sebagai era reformasi) dengan penerapan sistem demokrasi yang lebih liberal. Nilai-nilai Asian values yang dulunya digunakan untuk mendukung otoritarianisme (kita sebut Orde Lama), seperti di era Soeharto, telah digantikan oleh penghormatan yang lebih besar terhadap hak asasi manusia dan kebebasan politik. Kita juga bisa lihat di Korea Selatan dan Taiwan yang telah mengadopsi sistem demokrasi yang lebih liberal dengan pembatasan masa kekuasaan pemimpin dan pemilihan umum langsung yang diharapkan lebih transparan. Dalam konteks ini, nilai-nilai Asian values yang menekankan semangat kolektivisme menjadi lebih individualisme.

b.      Universalisasi Hak Asasi Manusia

Dengan pengaruh kesadaran global tentang hak asasi manusia dari PBB, banyak masyarakat Asia mulai mengadopsi pandangan yang lebih universal tentang hak-hak individu. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah mengintegrasikan standar hak asasi manusia internasional dalam sistem hukum dan politik mereka..

Setelah kita mengetahui sudut pandang definisi konseptual dari Asian value tersebut, maka mari kita membahasnya dari sudut pandang language of practice. Berikut makna Asian values yang dipraktikkan oleh beberapa penguasa di Asia::

1.      Kebijakan dan Tata Kelola

Dalam praktiknya, Asian value dipraktikkan lewat gaya pemerintahan berbagai negara. Pemimpin seperti Lee Kuan Yew di Singapura dan Park Chung-hee di Korea Selatan menerapkan kebijakan yang menekankan pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial, dan kesejahteraan kolektif. Melalui kampanye jargon Asian value sering kali praktik ini dibenarkan dengan mengorbankan kebebasan politik.

2.      Strategi Pembangunan Ekonomi

Nilai-nilai Asia digunakan untuk membenarkan kebijakan ekonomi yang fokus pada industrialisasi dan modernisasi cepat, dengan penekanan pada pembangunan komunitas dan kemajuan nasional. Ini melibatkan intervensi negara dalam pembebasan lahan, penggusuran rakyat, semua dilakukan atas nama pembangunan ekonomi, perencanaan jangka panjang-proyek strategis nasional.

3.      Stabilitas dan Harmoni

Ketika kebebasan terbuka selebar-lebarnya, di mana terlalu banyak pengambil keputusan, maka dianggaplah kestabilan dan harmoni bisa masyarakat terganggu. Maka perlu ada tangan besi untuk mengendalikan kebebasan-kebebasan tersebut. Maka jargon Asian values dipakai untuk menekankan pentingnya stabilitas sosial dan harmoni yang dianggap krusial untuk mencapai pembangunan ekonomi yang cepat. Oleh karena itu, hak-hak individual berpendapat sering kali dikorbankan demi kepentingan kolektif dan tujuan nasional.

Ketiga Praktek penguasa di atas menyimpulkan bahwa semangat Asian value ini sering kali jauh dari makna ide awalnya. Ide Asian value tentang semangat kolektif yang terwujud dalam kekeluargaan. Semangat ini Lah  yang dijaga dalam representatif sebuah keluarga. Keluarga dinasti kerajaan tentunya. Sayangnya prinsip kekeluargaan ini malah disalah artikan oleh para penguasa timur di era modern. Pihak berkuasa ini sengaja memanfaatkan frasa keluarga ini. atas nama stabilitas politik dan percepatan pembangunan ekonomi mereka memakai istilah Asian value.  Mereka tidak pula segan  menyimpulkan bahwa konsep kekeluargaan itu adalah politik dinasti. Politik dinasti yang menekankan pada kekuasaan dipegang oleh keluarganya.

Bila kita mampu melihat kedua defenisi Asian value ini, kita tidak  mudah terjebak dalam anggapan sempit bahwa Asian value adalah fondasi dari politik dinasti. Karena meskipun praktik Asian value selalu berubah dari semenjak era pra kolonial hingga  modern, tetap saja ide Asian value adalah semangat kolektif, semangat konsensus/ keputusan bersama. Begitulah masyarakat Asian beradaptasi terhadap perubahan politik global.

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama & Universitas PTIQ Jakarta)

REFERENSI:

1.      Do Asian Values Exist? Empirical Tests of the Four Dimensions of Asian Values. JSTOR. Tersedia di: https://www.jstor.org/stable/23418824

2.      Collectivism and Individualism as Bicultural Values: South Korean Undergraduates' Adjustment to College. ResearchGate. Tersedia di: https://www.researchgate.net/publication/265077955_Collectivism_and_Individualism_as_Bicultural_Values_South_Korean_Undergraduates_Adjustment_to_College

3.      Individualism and Collectivism. Oxford Academic. Tersedia di: https://academic.oup.com/book/10938/chapter/159214708

4.      The Role of Collectivism–Individualism in Attitudes Toward COVID-19 Preventive Measures. Frontiers. Tersedia di: https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2020.00860/full

 


Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال